Saudara-saudaraku di Timor Leste

Anak-anak

Timor Leste menyatakan diri independen pada 28 November 1975 setelah 455 tahun dijajah Portugal. Sembilan hari kemudian, Tentara Nasional Indonesia (TNI) memasuki wilayah Timor Leste. Pada Juli 1976 daerah ini dinyatakan sebagai bagian dari Indonesia dengan nama Propinsi Timor Timur. Timor bagian barat telah menjadi bagian Indonesia sejak zaman Belanda dan ketika Portugis meninggalkan Timor Leste, pemerintah Indonesia menentang kemerdekaan Timor Leste. "Konflik" yang berlangsung selama 24 tahun terakhir resmi 20 Desember 2002 saat Timor Leste dinyatakan resmi merdeka sebagai negara sendiri. 

Meskipun terjadi kekacauan yang panjang di Timor Leste, menurut saya yang membuat Timor Leste spesial adalah orang-orangnya. Mereka adalah orang-orang luar biasa dan sangat ramah, sepertinya tidak ada kebencian terhadap Portugal ataupun Indonesia. Saya jadi kepo dan doyan ngobrol dengan mereka karena pengen tahu apa yang mereka rasakan tentang negara mereka sendiri setelah merdeka.
Obrolan pertama saya dengan orang Timor Leste adalah dengan Shalih, cowok berusia 24 tahun yang bekerja di salah satu maskapai penerbangan nasional. Tidak seperti orang Timor pada umumnya, dia fasih berbicara Bahasa Indonesia dengan logat Jakarta yang kental. Ketika dia berusia satu tahun, ayahnya adalah seorang Fretilin yang bergerilya di hutan. Karena takut keselamatan Shalih terancam, ayahnya menaruh Shalih di dalam kotak karton di tepi sungai disertai surat dan berharap ada yang memungut anaknya. Kemudian, Shalih ditemukan oleh seorang TNI yang membawanya ke Jakarta dan mengadopsinya. Ketika Timor Leste memperoleh kemerdekaannya, ayah kandungnya kembali dari tempat persembunyiannya ke Dili. Dengan bantuan dari ICRC (Palang Merah Internasional), ayah kandungnya berhasil menemui Shalih di Jakarta pada 2002. Setelah lulus dari universitas, Shalih kembali ke Dili untuk bersatu kembali dengan keluarga kandungnya dan namanya diubah dari Shalih Rahman menjadi Benvindo Aze Descartes. “Sekarang saya punya dua keluarga. Kalau di Timor saya tinggal dengan keluarga kandung saya. Kalau di Jakarta saya tinggal dengan keluarga angkat saya. Kedua keluarga menjadi sahabat satu sama lain sampai sekarang,” kata Shalih. Wah, kisahnya cocok jadi sinetron banget.

Saya baru sadar bahwa pembentukan negara baru dengan perubahan bahasa juga mempengaruhi masyarakatnya. Ketika Shalih kembali ke Timor Leste, dia memutuskan untuk bekerja di perusahaan Indonesia karena tidak bisa berbahasa Portugis maupun Tetun (bahasa Timor). Tantangan bahasa tersebut juga dialami oleh Tanju, cowok 22 tahun asal Maliana yang putus sekolah saat kelas 6 SD. Dia kurang setuju Timor Leste merdeka karena alasan yang sangat sederhana. “Sangat sulit untuk berbicara bahasa Portugis dab Tetun karena saya sendiri berbicara bahasa Buna (salah satu bahasa daerah Timor). Belajar bahasa Indonesia sangat mudah dibandingkan Portugis. Selama hidup saya sudah mendengarkan lagu-lagu Indonesia. Mungkin kalau ada lagu-lagu Portugis, saya bisa belajar lebih cepat”.

Sebaliknya Abilio, cowok 23 tahun asal Ermera yang lulusan SMP, sangat pro Indonesia sesederhana karena, “ Produk Indonesia jauh lebih baik daripada negara lain. Celana jin dan sepatu saya buatan Indonesia, kualitasnya sangat bagus”. Berdasarkan kecintaannya terhadap produk Indonesia, ia selalu memutuskan bekerja dengan orang Indonesia dan bahkan ingin menikahi gadis Indonesia. “ Saya tidak mendukung kemerdekaan karena orang-orang byang menginginkan kemerdekaan hanyalah para politikus. Kami orang biasa sebenarnya tidak peduli siapa yang mengatur negara selama kami bisa makan. Tapi buktinya, setelah merdeka kami semakin miskin karena tidak mampu dengan diberlakukannya dolar Amerika Serikat. Semuanya menjadi sangat mahal, terutama ketika PBB datang” jelas Abilio.

Seberapa buruk ekonomi di Timor Leste setelah kemerdekaan? Saya ngobrol dengan Felix, pria berusia 45 tahun Maubara yang mata pencahariannya beternak. “Ini babi dulu dijual Rp.5000,00 (50 sen US$), tapi sekarang harganya US$ 50. Tapi, dengn US$ 50 tidak cukup untuk membiayai seluruh keluarga, semua habis sebelum satu bulan. Beras, makanan, dan listrik sangat mahal sekarang. Saya tidak tahu mengapa saya merasa kaya sebelum dolar diterapkan,” katanya sedih. Duh, saya benar-benar tidak yahu harus berkata apa lagi, saya bahkan tidak bisa membeli babinya.

Sebaliknya, saya ngobrol dengan Abdul, pria berusia 52 tahun, seorang pria Indonesia asal Jakarta yang bekerja sebagai koki di sebuah restoran di Dili. Karena masalah pribadi, ia melarikan diri ke Timor Leste pada 2005. Dengan 20 tahun pengalamannya bekerja di hotel dan kapal pesiar, ia memutuskan untuk mencari kesempatan di Timor Leste karena merupakan negara baru dan tidak jauh dari Indonesia. “Saya dapat uang dalam Dolar Amerika sehingga dapat nabung lebih banyak untuk membelanjakannya di Indonesia. Di sini gampang dapat uang. Para staf PBB doyan makan siang di sini, meskipun di sini sitemnya US$ 1 per piring, pada akhirnya mereka membayar US$ 10 per orang karena saya membuat hidangan dalam porsi kecil dan tidak termasuk minuman,” jelasa Abdul cekikian. Dia berencana membuka sebuah ballroom untuk pesta atau pernikahan karena banyaknya permintaan. Dia juga berencana melepaskan kewarganegaraan Indonesia. “Kalau saya memiliki Paspor Timor Leste, saya bisa dengan mudah bekerja dan bisa jalan-jalan keliling Eropa,” tambahnya.
Ah, saya bersyukur telah memiliki kenangan baru terhadap Timor Leste. Sebelumnya, saya hanya mendengar desas-desus, menonton berita, dan melihat gambar. Tapi sejak saat itu saya bisa tersenyum. Saya percaya bahwa apapun yang saya alami dalam beberapa hari hanyalah awal dari sebuah bangsa yang besar.


Sumber: Tulisan Trinity dalam The Naked Traveler 3.

0 Response to "Saudara-saudaraku di Timor Leste"

Posting Komentar