Saat pertama kali tiba di Indonesia, Hisanori Kato, sangat sulit beradaptasi. Pria Jepang tersebut tak bisa berkomunikasi dan kerap menjadi bulan-bulanan penjahat jalanan. Tapi saat meninggalkan Indonesia, ada perasaan sedih yang luar biasa. Indonesia kini selalu dirindukan bak kekasih abadi.
Kato, begitu ia biasa disapa, kini menjabat sebagai dosen di universitas di Sakai dan menjadi penasihat bagi pemerintah kota Sakai. Selama kegiatan ASEAN Weekly Committe, Kato bertindak sebagai pengarah acara sekaligus pemandu.
Pria 48 tahun itu bisa berbahasa Indonesia dengan sangat lancar karena pernah berada di Tanah Air selama hampir 8 tahun. Dia juga mampu berbahasa Inggris dengan prima serta bahasa lain di ASEAN dengan cukup baik.
Kato pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta pada tahun 1991 saat mengajar di Jakarta International School (JIS). Kala itu dia sangat kaget dengan kebiasaan di Tanah Air yang serba tak teratur. Kendala bahasa untuk berkomunikasi dengan masyarakat umum juga menjadi hambatan.
"Pertama kali menjejakkan kaki di Bandara Sukarno-Hatta, saya merasa berada di sebuah tempat asing yang berbeda sama sekali dengan Bandara Jepang atau Amerika yang saya ketahui. Kesibukan dan kebisingan serta kebingungan ketika menuju ruang tunggu, lebih terasa sebagai sebuah ketakutan," tutur Kato.
"Orang-orang yang menyapa saya dengan bahasa yang sama sekali tidak saya pahami, bahkan ada yang menarik lengan saya, ternyata mereka semua adalah supir taksi," sambungnya.
Selama hidup di Ibukota, Kato merasakan banyak masalah sosial lainnya. Namun yang menjadi puncaknya adalah aksi kejahatan yang kerap dialami oleh pria lulusan program doktor untuk sosiologi agama di Universitas Sydney ini.
"Di bus yang hampir tidak pernah digunakan orang asing, entah berapa kali dompet saya dicuri. Saya bahkan pernah ditodong dengan pisau, uang serta jam tangan saya diambil. Pernah juga uang saya dicuri oleh pembantu di rumah. Setiap kali saya mengalami peristiwa seperti itu, pikiran saya untuk meninggalkan negeri ini pun memenuhi benak saya," jelasnya.
Pria 48 tahun itu bisa berbahasa Indonesia dengan sangat lancar karena pernah berada di Tanah Air selama hampir 8 tahun. Dia juga mampu berbahasa Inggris dengan prima serta bahasa lain di ASEAN dengan cukup baik.
Kato pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta pada tahun 1991 saat mengajar di Jakarta International School (JIS). Kala itu dia sangat kaget dengan kebiasaan di Tanah Air yang serba tak teratur. Kendala bahasa untuk berkomunikasi dengan masyarakat umum juga menjadi hambatan.
"Pertama kali menjejakkan kaki di Bandara Sukarno-Hatta, saya merasa berada di sebuah tempat asing yang berbeda sama sekali dengan Bandara Jepang atau Amerika yang saya ketahui. Kesibukan dan kebisingan serta kebingungan ketika menuju ruang tunggu, lebih terasa sebagai sebuah ketakutan," tutur Kato.
"Orang-orang yang menyapa saya dengan bahasa yang sama sekali tidak saya pahami, bahkan ada yang menarik lengan saya, ternyata mereka semua adalah supir taksi," sambungnya.
Selama hidup di Ibukota, Kato merasakan banyak masalah sosial lainnya. Namun yang menjadi puncaknya adalah aksi kejahatan yang kerap dialami oleh pria lulusan program doktor untuk sosiologi agama di Universitas Sydney ini.
"Di bus yang hampir tidak pernah digunakan orang asing, entah berapa kali dompet saya dicuri. Saya bahkan pernah ditodong dengan pisau, uang serta jam tangan saya diambil. Pernah juga uang saya dicuri oleh pembantu di rumah. Setiap kali saya mengalami peristiwa seperti itu, pikiran saya untuk meninggalkan negeri ini pun memenuhi benak saya," jelasnya.
Quote:
Namun dia punya cara unik untuk melampiaskan rasa kekecewaannya. Dia bertekad untuk mengambil kembali apa yang sudah dicuri oleh orang-orang Indonesia. Dengan cara mengamen.
"Saya memutuskan mengajak teman sesama orang Jepang yang bisa bermain gitar, lalu membentuk duo dadakan yang saya namakan “The Selamat”, lalu saya mengamen di bus kota jurusan Blok M-Kota," urainya.
"Dengan bahasa Indonesia yang pas-pasan, kami mulai beraksi di bus yang bergoyang-goyang, dan ketika saya berteriak “kami datang dari Jepang, silakan dengarkan lagu-lagu kami”," terangnya.
"Saya memutuskan mengajak teman sesama orang Jepang yang bisa bermain gitar, lalu membentuk duo dadakan yang saya namakan “The Selamat”, lalu saya mengamen di bus kota jurusan Blok M-Kota," urainya.
"Dengan bahasa Indonesia yang pas-pasan, kami mulai beraksi di bus yang bergoyang-goyang, dan ketika saya berteriak “kami datang dari Jepang, silakan dengarkan lagu-lagu kami”," terangnya.
Para penumpang kagum dan memberi duo dadakan itu banyak uang. Sejak momen itu, cara pandang Kato terhadap orang Indonesia berubah. Terutama dari cara perlakuan terhadap warga asing.
"Merekalah yang mengubahnya, para penumpang bus yang menerima pengamen asing yang tiba-tiba muncul di dalam bus. Balas dendam saya terhadap Indonesia menjadi “anugerah” besar yang mengubah pandangan saya terhadap Indonesia dan orang Indonesia," cerita Kato.
Pada tahun 1994, Kato meninggalkan Indonesia untuk sekolah master dan doktor di Sydney. Namun ada satu perasaan aneh yang hinggap di dadanya ketika dia dalam perjalanan ke bandara.
"Saya tiba-tiba menangis di dalam taksi. Padahal saya sudah pernah tinggal di Amerika, tapi tidak merasa seperti itu. Memorinya itu, dicopet, terus saya berjuang. Rasa itu, good and bad," kenangnya.
Sejak itu, selalu bolak-balik ke Indonesia. Dia pernah mengajar di Universitas Nasional selama 4 tahun.
Pria berkacamata itu juga tertarik dengan kondisi sosial di Indonesia, terutama mengenai Islam. Sejumlah penelitian sudah dia buat tentang dunia Islam di Indonesia. Salah satu bukunya yang sudah dibuat dalam bahasa Indonesia adalah Agama dan Peradaban.
"Dari situ juga saya kenal dengan Gus Dur, Pak Amien Rais. Saya sangat dekat dengan Gus Dur sampai akhir hayatnya. Kami saling berkunjung. Saya juga sudah mengajak beliau ke Sakai," jelas Kato.
Selama hampir 20 tahun berkutat di Indonesia, Kato kini tinggal di Sakai. Namun kenangannya tentang Indonesia tak akan pernah pudar. Bahkan, dia baru saja merampungkan buku soal kisah hidupnya di Indonesia yang berjudul 'Kangen Indonesia'.
"Saya berusaha menyampaikan pemikiran saya soal Indonesia. Ada juga pesan saya untuk para pencopet di bus, sebaiknya mereka gunakan keahlian itu untuk hal lain. Mungkin hidupnya akan berubah," ujar Kato sambil tertawa.
Suatu hari, Kato juga berharap bisa tinggal dan menetap di Indonesia. Dia membayangkan kehidupan yang indah di sebuah kawasan di Yogyakarta dengan rumah Joglo dan kondisi lingkungan yang hangat, sehangat orang Indonesia.
Dalam prolog bukunya, Kato memberikan sedikit pandangan soal orang Indonesia. Berikut penggalannya:
"Di zaman sekarang ini, istilah internasionalisasi begitu disanjung. Pentingnya mempelajari bahasa asing diserukan, dan banyak orang yang mengeluarkan uang untuk belajar di sekolah bahasa asing. Pada umumnya mereka mengartikan bahasa asing adalah bahasa Inggris. Namun tidak hanya terbatas pada bahasa Inggris, dalam “internasionalisasi” bahasa asing sangatlah penting. Kita tidak bisa mengatakan bahwa tidak ada masalah jika tidak mempelajarinya. Tetapi, jauh sebelum istilah itu didengung-dengungkan, para penumpang bus di Jakarta misalnya, mereka bergembira dan mengatakan “menarik” pada pengamen asing yang jelas-jelas berbeda dengan diri mereka, bahkan berkeinginan untuk bernyanyi bersama dengan pengamen itu, membuat saya berpikir, bukankah itu sesungguhnya langkah awal sebuah “internasionalisasi”? Dalam pengertian tersebut, Indonesia adalah negara yang maju dalam internasionalisasi. Yang saya catat di sini adalah beberapa pengamatan saya yang sangat subjektif tentang Indonesia,"
"Merekalah yang mengubahnya, para penumpang bus yang menerima pengamen asing yang tiba-tiba muncul di dalam bus. Balas dendam saya terhadap Indonesia menjadi “anugerah” besar yang mengubah pandangan saya terhadap Indonesia dan orang Indonesia," cerita Kato.
Pada tahun 1994, Kato meninggalkan Indonesia untuk sekolah master dan doktor di Sydney. Namun ada satu perasaan aneh yang hinggap di dadanya ketika dia dalam perjalanan ke bandara.
"Saya tiba-tiba menangis di dalam taksi. Padahal saya sudah pernah tinggal di Amerika, tapi tidak merasa seperti itu. Memorinya itu, dicopet, terus saya berjuang. Rasa itu, good and bad," kenangnya.
Sejak itu, selalu bolak-balik ke Indonesia. Dia pernah mengajar di Universitas Nasional selama 4 tahun.
Pria berkacamata itu juga tertarik dengan kondisi sosial di Indonesia, terutama mengenai Islam. Sejumlah penelitian sudah dia buat tentang dunia Islam di Indonesia. Salah satu bukunya yang sudah dibuat dalam bahasa Indonesia adalah Agama dan Peradaban.
"Dari situ juga saya kenal dengan Gus Dur, Pak Amien Rais. Saya sangat dekat dengan Gus Dur sampai akhir hayatnya. Kami saling berkunjung. Saya juga sudah mengajak beliau ke Sakai," jelas Kato.
Selama hampir 20 tahun berkutat di Indonesia, Kato kini tinggal di Sakai. Namun kenangannya tentang Indonesia tak akan pernah pudar. Bahkan, dia baru saja merampungkan buku soal kisah hidupnya di Indonesia yang berjudul 'Kangen Indonesia'.
"Saya berusaha menyampaikan pemikiran saya soal Indonesia. Ada juga pesan saya untuk para pencopet di bus, sebaiknya mereka gunakan keahlian itu untuk hal lain. Mungkin hidupnya akan berubah," ujar Kato sambil tertawa.
Suatu hari, Kato juga berharap bisa tinggal dan menetap di Indonesia. Dia membayangkan kehidupan yang indah di sebuah kawasan di Yogyakarta dengan rumah Joglo dan kondisi lingkungan yang hangat, sehangat orang Indonesia.
Dalam prolog bukunya, Kato memberikan sedikit pandangan soal orang Indonesia. Berikut penggalannya:
"Di zaman sekarang ini, istilah internasionalisasi begitu disanjung. Pentingnya mempelajari bahasa asing diserukan, dan banyak orang yang mengeluarkan uang untuk belajar di sekolah bahasa asing. Pada umumnya mereka mengartikan bahasa asing adalah bahasa Inggris. Namun tidak hanya terbatas pada bahasa Inggris, dalam “internasionalisasi” bahasa asing sangatlah penting. Kita tidak bisa mengatakan bahwa tidak ada masalah jika tidak mempelajarinya. Tetapi, jauh sebelum istilah itu didengung-dengungkan, para penumpang bus di Jakarta misalnya, mereka bergembira dan mengatakan “menarik” pada pengamen asing yang jelas-jelas berbeda dengan diri mereka, bahkan berkeinginan untuk bernyanyi bersama dengan pengamen itu, membuat saya berpikir, bukankah itu sesungguhnya langkah awal sebuah “internasionalisasi”? Dalam pengertian tersebut, Indonesia adalah negara yang maju dalam internasionalisasi. Yang saya catat di sini adalah beberapa pengamatan saya yang sangat subjektif tentang Indonesia,"
0 Response to "Kisah Profesor Jepang Yang pernah mengamen di Jakarta"
Posting Komentar